Halo Abuk! maaf adek masih suka main.
Hari ini Bapak-Ibu masih mengkhawatirkan aku Cho. Kelak ada masa ketika seorang asing datang dan membuatku akan mengkhawatirkannya jika belum menemuinya di rumah. Jika telah lahir, maka akan bertambah orang yang harus aku khawatirkan lagi. Mereka akan memanggilku “Wibi”
---

Sekarang adalah masa-masa yang menyenangkan Cho! Karena belum ada yang harus ku khawatirkan dulu melainkan diriku sendiri. Ah selfish time! Bapak-ibu lah yang selalu menunggu dan siap marah jika aku pulang malam. Maaf pak, maaf bu.. sekarang anakmu ini belum ada di posisi itu. Ada masanya nanti keduanya akan mengatakan dalam hati mereka, “rasakan kau nak, sekarang kau tau bagaimana kami dulu mengurusmu”


Betapa seorang ibu tidak akan memiliki  lagi waktu untuk dirinya sendiri. Dia akan memiliki banyak kekahawatiran untuk suami dan anak-anaknya. No selfish time! Tidak ada waktu baginnya hanya sekedar ongkang-ongkang kaki dan memanjakan diri, mempercantik diri. Perempuan yang telah memiliki tanggung jawab lebih, maka akan kehilangan waktunya untuk sekedar memikirkan dirinya. Sehingga aku baru paham, kenapa setelah diminta orang, perempuan cenderung berubah menjadi orang yang sangat luar biasa sederhana.

Waktu yang tepat untuk banyak main, bukan main-main. Hingga nanti akhirnya harus berkata, "Cukup untuk diriku"


Ketika seorang perempuan telah meng”iya”kan permintaan laki-laki untuk menemani hidupnya, hidup mereka bukan hanya untuk mereka berdua saja. Karena sudah memutuskan untuk hidup bersama, maka kehidupan mereka akan saling terhubung. Kehidupan mereka juga akan terhubung dengan kehidupan yang lain. Tanggungjawab datang satu persatu sebagai konsekuensi untuk menaggung satu sama lain. Tidak ada lagi waktuku, melainkan waktu kita. Bukan sekedar memenuhi rasa ingin bersama, ini artinya menerima tanggungjawab. Tanggungjawab terhadap jiwa yang membersamai, dan tanggungjawab terhadap Tuhan saat keduanya dititipkan “Jiwa”, merekalah anak-anak yang akan menuntut tanggungjawab keduanya. Seorang anak tidak pernah bisa memilih untuk lahir dari rahim siapa. Mereka butuh kasih sayang untuk tumbuh menjadi manusia..


Hah itu lah Cho, kenapa saat dua orang akan memutuskan hidup bersama dibutuhkan suatu ikatan. Karena kebersamaan tadi tidak seolah-olah sekedar melampiaskan keinginan keduanya. Kehidupan akan saling terhubung, maka dibutuhkan tanggungjawab. Sebuah ikatan dibutuhkan agar keduanya tidak lepas dari tanggungjawab tersebut.


Apakah kau memperhatikan Cho? Anak-anak yang lahir dari orang tua dalam suatu ikatan yang tidak sah. Anak-anak yang lahir dari orang tua tanpa iktan membutuhkan kasih sayang lebih. Sehingga banyak dari mereka yang bandel, meminta perhatian lebih untuk mendapatkan kasih sayang. Mereka lahir dari ketidaksadaran orang tuanya. Mereka dipelihara dalam rahim yang tidak mengharapkan kehadiran mereka. Saat lahir, anak-anak tersebut tidak mendapatkan perhatian yang cukup karena bapak-ibu mereka masih belum siap memikirkan orang lain. Ibunya masih terlalu muda, ingin mencari banyak pelajaran sebanyak-banyaknya untuk dirinya. Belum bisa memikirkan orang lain, ibu mereka masih membutuhkan waktu bermain dengan kawan-kawannya. Sehingga anak-anak mereka mencari perhatian orang lain untuk mendapatkan kasih sayang. Betapa malang.. bagaimanapun jiwa-jiwa yang lahir adalah suci. Tidak ada satupun anak haram, melainkan hubungan orang tua mereka yang haram. Mereka adalah anak-anak manusia, maka harus dibesarkan dengan cara manusia. Namun ada beberapa orang muda yang rasa ingin bersamanya begitu besar dan mengabaikan tanggungjawab tersebut.


Siapkah menjadi seorang ibu? Hhahaha aku main-main Cho, sekarag adalah waktu yang tepat untuk belajar sepuas-puasnya, main sepuas-puasnya, berkawan dengan siapa saja dan menjelajahi tanah air dan udara untuk mendapatkan pengalaman sebanyak-banyaknya. Kerena suatu hari nanti kelak aku akan dibebani masa petualangan yang lebih besar tantangannya. Menjadi seorang ibu. Aku ingin memuaskan diriku dengan limpahan ilmu dan pengalaman Cho. Dan pada waktunya aku akan mengatakan, “Cukup untuk diriku”. Sekarang adalah waktu untuk diriku, memenuhi bekal untuk petualnagan yang lebih besar lagi dengan rasa khawatir yang lebih besar. Kelak aku akan mengkhawatirkanmu, nak. Karena Wibi harus memiliki kepandaian yang cukup untuk membesarkanmu.. Hihi.



Ingin dipanggil apa oleh anak-anakmu nanti? Ibu, biyung, mamah, mamak, emak, simbok, mimi, mami, umi, bunda, ibunda? Wibi merupakan salah satu dasanama dari “Ibu”. Dalam bahasa Jawa, sebuah kata memiliki 10 nama lain untuk keperluan penamaan yang kaya akan filosofis. Kumpulan 10 nama tersebut disebut dasanama

Kita bisa menemukan banyak orang-orang hangat di ketinggian yang dingin


Pernah lihat gumpalan awan besar sedekat ini Cho?



Choco.. masih ingat dengan tulisan pertama yang kuceritakan padamu? Tulisan anak alay yang baru mengenal bahasa. Setelah 4 tahun aku membacanya kembali, geli rasanya. Ingin menertawai diri sendiri Hahaha. Tulisan itu Cho, mengenai tempat-tempat indah di pertiwi yang mau ku kunjungi. Setelah 4 tahun aku menuliskannya, tulisan itu hampir mencapai tujuannya, walaupaun tidak terpenuhi sepenuhnya atau bahkan telah melampaui apa yang ku inginkan ketika itu (lihat:Tempat di Pulau Jawa yang Ingin Saya Kunjungi). Aku mau menceritakan padamu mengenai pertemuan yang telah melampaui apa yang kubayangkan. Di sini Allah menunjukan kepada ku KuasaNya, Allah mengizinkan MemandangNya dari ketinggian. Kuharap ini baru permulaan untuk perjalanan selanjutnya!

Aku ini satu-satunya anak perempuan di rumah. Orang tua terutama bapak paling susah membiarkan anaknya jauh dari jangkauannya. Ketika aku masih kecil, bermain dengan kawan-kawan di luar rumah akan mejadi hal yang paling menakutkan. Karena aku ini anak yang culun, sering sekali menjadi target bullying, terutama ketika aku tinggal di Bogor dan awal-awal pindah ke Jogja. Lama kelamaan proses tersebut membuat anak sekecil itu tumbuh dengan hati yang keci pula. Tidak suka bermain dengan sesamanya, tidak pernah bermain keluar rumah dengan teman sebaya dan akhirnya membuat dunia sendiri.

Cho, seperti halnya kamu. Kamu adalah anak kecil laki-laki yang kuciptakan untuku bisa bercerita kesana-kemari. Saat kecil hingga sekarang, aku memiliki banyak teman imajiner yang biasa menghampiriku saat aku sendirian. Jika aku di ruangan, biasanya akan ada yang menghampiriku untuk mengajak bercerita, tepatnya aku yang bercerita Cho.. menceritakan apapun yang tak tersampaikan. Tapi beberapa kali aku terpergok teman bahwasanya aku sedang berbicara sendiri! Karena telah beberapa kali aku dipergoki, akhirnya aku sadar diri Cho, bahwasanya aku sedang sakit. Aku menciptakan teman-temanku, agar mereka menghampiriku dan mau mendengarkan apa yang ingin kuceritakan kepada mereka.  Hal tersebut mulai mengganggu tentunya. Akhirnya tanpa ada paksaan dari manapun, aku mengikuti konseling ke psikolog. Konselor itu bernama mbak Diah. Dengan sabar dia mendengarkan ceritaku, beliau bilang,”Bisa saja ini gejala scizophrenia

Satu-satunya tawaran untuk ku agar bisa sembuh adalah dengan menjadi orang yang terbuka. Memiliki sebanyak-banyaknya teman dan tidak sungkan untuk bercerita. Mengutarakan apa yang diinginkan baik secara lisan maupu tulisan. Menghindari kesendirian yang bisa memicu teman-teman yang kuciptakan datang lagi.
Cho, iya memiliki banyak teman itu hal yang sangat menyenangkan. Dengan memiliki teman kita akan dengan mudah membagi rasa yang membebani. Bukan untuk memindahkan beban itu kepada yang lain, melainkan kita akan saling berbagi rasa ringan, “bahwasanya kamu tidak sendiri, rasa khawatir berlebihan itu yang membuat kita merasa berat”. Terkadang, menghampiri teman dan bercerita bukan semata-mata untuk mencari solusi. Melainkan kita sedang mencari orang yang bersedia mendengarkan dan akan menjadi pihak yang membersamai kita dalam menghadapi masalah. Dan iya, aku menemukannya. Seperti menyusun mozaik Cho.. aku menemukan mereka satu persatu.
Sekarang, aku ingin berterimakasih satu persatu untuk teman-temanku  yang secara tidak sadar sudah membantuku dalam masa penyembuhan Cho..

Partner in Crime 
Untuk kalian, Anis Listyarini  dan Yudithia Damayanti. Aku mau berterimakasih sebanyak-banyaknya terhadap kalian. Bagaimana awalnya aku bisa masuk dalam lingkaran kalian, aku lupa. Yang ku tahu kalian berdua saling mengisi menjadi partner in crime. Aku menjadi salah satu dari kalian tanpa persyaratan rekuritmen ala mafia. Terimakasih terus membersamaiku. Hingga akhirnya kebersamaan itu harus sejenak berjarak sekarang. Ya, keterbukaan dan kebersediaan kita diuji pada level yang paling tinggi.  Berpisah bukan menjadi jalan yang paling buruk. Ini adalah masa rehat yang diberikan Allah untuk kita saling memahami satu sama lain dari jauh dengan rasa hormat lebih. Seolah-olah menjadi orang yang baru dikenal, padahal sesungguhnya ada do’a dalam diam yang kalian terbangkan ke langit-langit. Nis.. Dith, jujur aku merindukan masa-masa kebersamaan itu, tapi aku tahu bahwasanya kita sedang berendam dalam rasa kecanggungan. Dari kalian aku belajar mendengarkan. Dari kalian aku belajar memahami apa yang diceritakan, dari kalian aku belajar untuk menerima kekurangan teman, dari kalian aku belajar bertahan dalam kekurangan kawan. Untuk tidak meniggalkan, untuk tetap menjaga komunikasi. Dari kalian pula aku bisa berani bererita. Apa kabar kalian? Aku agak geli ketika Anis bilang,  “Aku sama Yudith udah kayak orang yang habis putus, diem-dieman malu-malu gitu” Hahahaha, mana ada kamu pernah pacaran, ini cobaannya melebihi orang pacaran Nis.. pacar bisa aja jadi mantan, tapi pertemanan tidak pernah diawali dari kata sepakat “kita berteman” , tidak ada pernyataan khusus. Jiwa-jiwa kita sudah pernah bertemu sebelumnya sehingga kita tidak pernah menyepakati pertemanan ini di kehidupan nyata.  Merindu kalian.. partner in crime.
Partner in Crime!
Bareng Abang Yudith, Lawu 3265 mdpl
Senior partner, Anis.. Ayo foto bertiga



Pencarian Titik Balik
Terimaksih untuk teman-teman sejalan yang sabar menghadapi keusilanku  di taraf orang-orang kalem seperti kalian. Teman-teman ph JMMB 1434, terutama mbak Umi Mu’avatun, Annis Fatmawai, Dewi Rakhmawati, Cahyo Adi Wibowo, Ali Muharom, Ibnu Sina, M.Muslih Muhtadi. Aku tahu kita semua (kecuali Muslih dan Dewi) adalah mantan orang-orang badung, walaupum sampai sekarang masih ada beberapa dari kita yang masih badung hahahahaha. Terimakasih untuk kesabarannya dalam membersamaiku, bersabar, membrikan pemahaman yang baik bahwasanya semua orang akan menemukan titik baliknya. Kalian orang-orang yang memberikanku rasa aman dalam belajar sehingga aku tidak perlu merasa ketakuatan dalam memahami isyarat Tuhan. Terimakasih, kalian orang-orang yang berbeda yang ku kenal dari orang-orang yang biasanya ku kenal. Terimakasih dalam membantuku menemukan titik balik itu. Hanya dengan kalian aku bisa keras melawan dan cerewet memecah kekakuan.
Kaki gunung Merapi. Bersama Kalian orang-orang sibuk (kiri ke kanan): Mbak Umi, Luthfi, Irma, Ali, Cahyo


Cuma Kamu yang Bisa Mbak..
Untuk Murobbi ku, Mbak Miftakh Dinianingrum.. kamu satu-satunya Murobbi yang masih mau kuhubungi di saat-saat kamu masih sibuk mengerjakan tugas akhir. Ya, karena kamu yang paling membekas. Sampai berkali-kali aku terus bertanya, “kapan wisuda? Apa kabar?” Cuma ke kamu mbak aku jorjoran mengenai ketidaknyamananku tentang dunia kampus yang kaku, cuma ke kamu mbak aku cerita tentang orang yang pernah membuatku nanar karena perangainya, Cuma ke kamu juga aku bisa banyak bertanya. Dari yang biasanya aku hanya mengatakan iya dan menundukan kepala saat melingkar. Terimakasih kamu menjadi salah satu orang yang ikut dalam proses penyembuhanku mbak.. karena dengan kamu aku bisa menjadi orang yang lebih terbuka.

Konflik ala Anak Kost
Dan Cho.. ini pertemanan yang terbentuk karena terjebak waktu dan tempat. Selama kurang dari 2 bulan, semua kebusukan sehari-hariku dan mereka saling terbuka satu persatu! Kalian, teman-teman satu pemondokan dalam masa pengabdian ke masyarakat selama di perbatasan Indonesia-Malaysia. Terimakasih.. kalian orang pertama yang menemaniku di perantauan jauh, bertemu orang-orang asing dan memaksa berkeluarga dengan orang-orang yang awalnya asing seperti kalian. Untuk Rachmita Dewi, Sinthiya, S.N. Salita N., mbak Umiyati, Restu Puji A., mbak P.Whulandari.. Bisa seharian kita dikamar bercerita kesana-kemari ketika seharian tidak ada pekerjaan. Rewel membahas masakan dan kadang bisa sedikit berkoflik batin masalah cara masak dan menu masakan.  Terimakasih kalian mengenalkan ku pada konflik-konflik kecil keseharian ala anak kost. Dari kalian aku belajar untuk menahan diri dan mengatakan pada diri, “itu hanya perasaanmu saja yang membuatmu berat, tidak ada masalah besar” terus aku mengatakan hal seperti itu hingga akhirnya pada suatu pagi aku melarikan diri dari pemondokan. Karena Cho.. disaat seperti itu tidak ada tempat untuku bercerita. Keadaan itu memaksaku tak mamapu memanggil teman-teman imajinerku untuk mendengarkan kata hati yang tak tersampaikan kepada telinga-telinga manusia. Aku hanya terus berbisik, “itu hanya perasaanmu saja yang membuatmu berat, tidak ada masalah besar”  dan Cho.. semua perasaan dan permasalahan itu kubawa keluar pemondokan,  aku bisa mengatakan pada mereka jika aku baik-baik saja.


Mountaineer dan laki-laki Flamboyan
Untuk para Mountaineer Teknik, terimakasih banyak sudah  bersedia mengenalkan ketinggian, hanya kalian yang berani membayar janji bepergian tanpa wacana. Dari Pahu Dieng, Merbabu sampai Lawu. Muhamad Hafiyyan Mayada, Prayoga Isyan para Mountaineer dari pemondokan dan kalian juga para laki-laki flamboyan Ahmad Ridwan juga Heru Pranoto. Terimakasih, dari situ banyak pelajaran yang kalian kenalkan dalam melawan diri sendiri. Melawan ketakutan dan rasa lelah, memaksa diri untuk  keluar dari zona nyaman. Terimakasih.. dari sini aku bisa bertemu banyak orang dan memandang dunia. Dari ketinggian ini, bukan kita yang dipandang oleh dunia. Tapi kalian mengajakku untuk melihat dunia. Betapa kecilnya manusia, betapa tidak ada bandingannya jika kita disejajarkan dengan KuasaNya. Ya Allah.. aku bisa memandangMu dari ketinggian. Bahwasanya permasalahan yang aku rasakan tiada besar dihadapan banyak orang. Orang-orang diatas gunung begitu bersahabat, disana aku banyak bertemu dengan orang. Di sana aku menemukan orang-orang dengan keadaan yang sama, saling membutuhkan satu sama lain untuk dapat mencapai tujuannya, ya.. untuk selamat sampai pulang saat mendaki dan turun. Kedaan itu mambuat para pendaki menjadikan orang-orang yang ditemui sebagai saudara. Tidak pernah aku menemukan tempat sehangat itu Cho.. sangat berterimakasih kepada kalian yang memberiku kesempatan untuk merasakan pengalaman ini. Sehingga  aku bisa melihat permasalahanku dari ketinggian. Betapa kecilnya aku! Betapa kecilnya permasalahan yang sesungguhnya aku rasakan, tidak ada kesepian yang kurasakan di puncak sana.
Lawu, bersama mereka yang masih bersedia melanjutkan pertemanan setelah kurang dari 2 bulan hidup di perbatasan. (kiri-kanan): Dewi, Yoga, Siska, Hafiyyan, aku
Bareng temen-temen Teknik Sipil, puncak Kenteng Songo-Merbabu: Helmi, Hafiyyan (lagi)
Puncak Prahu, Dataran tinggi Dieng


Cho.. perjalanan ini telah melampaui dari apa yang kutuliskan 4 tahun yang lalu. Perjalanan ke suatu tempat akan mempertemukan kita kepada orang baru. Aku mulai belajar untuk selalu bersabar dan bersyukur. Bahwasanya manusia tidak pernah sendirian, tidak perlu memanggil teman imajiner dan bercerita kepada mereka. Jika aku perlu didengarkan, sekarang aku hanya perlu mengadu kepada Allah dan sedikit berusaha untuk berjalan menemui orang yang kusayangi.. itu lah meraka, teman. Ada nikmat Allah yang harus kujemput, rasa nikmat itu adalah mereka yang kusebut teman. Now I see you guys!
Calon pelulus saya ini Cho..


Hai Choo! Temanmu ini sudah memasuki ujung nasib masa kemahasiswaan. Dan maninan yang sekarang baru naik daun di kalangan mahasiswa uzur macam kami adalah si itu.. ‘S’ alias skripsi. Sudah keniscayaan bagi semua mahasiswa yang mau menjemput sarjananya untuk melalui jalan itu, ya itu.. itu yang tidak harus ku ucapkan berkali-kali.

Iya Cho! Akhirnya kami yaaah aku tentunya merasakan kesangsian untuk kalimat, “kapan lulus?”, “udah sampai bab berapa?”, “kapan pendadaran?”, “kapan wisuda?” yang dulu sering kutanyakan ke kakak angkatan dengan sombongnya. Sekarang aku yang merasakan kesesakan yang meradang ketika kalimat itu dilayangkan ke wajahkau. “Sukurin tuuuuuuuuuul, rasakan sekarang gimana ditanyain begitu!” suara sisi jahat kakak angkatan menggema mengatai adek angkatan yang dulu begitu sombong menanyakan hal-hal itu.

Jadi, si Skripsi ceritanya adalah mahakarya sang mahasiswa yang telah menghabiskan waktu belajar selama 4 tahun (ehm.. normalnya) atau lebih. Bak karya seni yang minta diapresiasi oleh khalayak, kami juga tidak sayang mengeluarkan waktu, tenaga dan materi untuk menghasilakn tugas akhir yang bermanfaat.  Hasil belajar kami harus dituangkan dalam ide dan permasalahan yang harus dipecahkan sendiri. Berbeda dengan jaman dulu aku dan yang lain masih duduk di bangku sekolah. Jika ingin lulus, kami hanya diminta menghadapi persoalan yang disodorkan pembuat soal dalam bentuk lembaran kertas. Segala persiapan jelang ujian nasional sudah di usahakan oleh guru-guru. Jadi saat dibangku sekolah, kami yang dicekoki segala meteri agar kami siap menghadapi ujian. Akhirnya aku merasakan Cho, ini yang disebut mahasiswa!

Mau lulus? Ya usaha! Belajar, cari sebanyak-banyaknya pengetahuan, cari permasalahan dan pecahkan sendiri. Apa yang dibutuhkan harus dicari secara mandiri, bukan dicekoki lagi macam anak sekolah. Jadi, kelulusan mahasiswa memang harus diusahakan oleh mahasiswa itu sendiri. Karena semua yang dikerjakan menuju ‘lulus’ bukan dosen yang merencanakan, melainkan diri sendiri. Mengerjakan tugas akhir berarti merencanakan kelulusan. Jika ingin lulus segera berarti harus pandai mengatur waktu, mengatur usaha, mengatur uang, membangun komunikasi yang baik dengan dosen dan keuletean untuk mengabaikan kemalesan. Itu semua hanya si mahasiswa yang bisa mengerjakannya, orang tua apalagi dosen mana bisa mengerjakan keperluan kita. Pertanyaan yang kemuadian muncul adalah “Lha yang mau lulus siapa?”

Cho.. yang sulit itu memberi pemahaman kepada orang tua. Kelulusan kita harus ‘diusahakan’ secara mandiri, berbeda dengan kami saat masih sekolah. Mau lulus? Hadapi soal! Lha sekarang, jika mau lulus? Hadapi permasalahan yang kamu ajukan. Semua butuh usaha. Bapak ibu harap bersabar ya.
Tapi bukan semata-mata kelulusan itu hanya dari faktor usaha mahasiswa. Buatku, semua tergantung fator ‘X’ Cho. Aku terlalu sering mengandalkan faktor itu untuk menyelesaikan permasalahan hidup hahahha.. SI ‘X’ bisa mudah mengalahkan si ‘S’, serius..

X adalah sifat Maha Penyayang Allah dalam bentuk keberuntungan. Beruntung dapat dosen pembimbing yang memang saya inginkin Cho. Si Bapak itu pokoknya, Alhamdulillah dapat. Beruntung selama konsultasi saya punya pemikiran yang sama dengan dosen Cho, walaupun sering aku terlihat bodoh (memang aku bodoh sih) di hadapan beliau. Beruntung punya banya teman yang selalu mengingatkan cho, punya banyak teman yang bersedia bantu saat ambil data, beruntung punya banyak teman yang rajin ajak main utnuk sejenak menghempaskan si skripsi. Alhamdulillah.. itinya dalam mengerjakakn si ‘S’ harus senang hati hihihi.

Dan yang paling penting, buat jadwal pengerjan skripsi dan embel-embelnya. Karena si ‘S’ tidak boleh sampai mengganggu jadwal main dan aktifitas lain. Si ‘S’ jangan sampai difikirkan setiap hari. Karena jika tidak membuat jadwal kapan kita harus mikirkan si ‘S’ bisa-bisa kita akan memikirkannya sepanjaaaaaaang hari. Yang menyebabkan mahasiswa terjangkit penyakit stress dan skripsi manjadi kisah yang tak berujung. Terlalu difikirkan tanpa tindakan bukankah hanya menghantui fikiran? Jadi beban? Jadi, buat jadwal itu penting agar kita bisa bersahabat baik dengan skripsi. Karena skripsi cukup dikerjakan 3 hari dalam sepekan, sisanya kita bisa sambi yang lain. Ingat, 6 SKS kan?


Oh ya Cho.. yang aku heran. Proposal praktikum atau laporan praktikum bisa lho ku kerjakan dalam waktu 6 jam lembur. Itupun ku kerjakan sehari sebelum batas akhir pengumpulan. Skripsi dikerjakan berapa bulan? Yah, intinya kami sudah terlatih menghadapi situasi seperti itu, kami sudah terlatih mengerjakan naskah, kami sudah terlatih mengambil data, kami terlatih mencari informasi-informasi yang kami cari. Jadi, skripsi bukanlah hal yang harus ditakuti. Skripsi adalah proyek akhir suka-suka yang harus dikerjakan dengan senang hati. Yang paling penting adalah: Skripsi bukan hanya sekedar syarat lulus, tapi sebagai karya yang kebermanfaatannya ditunggu. Jadi jangan main-main mengerjakan skripsi, kerjakan dengan sungguh-sumgguh dan senang hati. 
Ini gambar spontan yang ku gambar di papan tulis kamar pas bangun tidur Cho.. kalau ditanya siapa, aku juga ndak tau

Hai Cho! Terlalau banyak aku menulis mengenai makhluk kuat yang diciptakan Allah ini, ya Laki-laki. Ehm, jangan ada prasangka apapun dulu sebelum membaca paragraf-paragraf selanjutnya Cho. Pandang saja aku ini anak yang baru belajar memahami.

Dulu saat kecil aku memiliki cita-cita dengan tamanku untuk menjadi laki-laki, huh.. itu benar-benar hal yang tidak masuk akal bukan? Kami kumpulan anak-anak tomboy. Setiap harinya kami selalu bermain basket dan temanku selalu membawa sepatu roda untuk kami bermain bersama. Dulu aku memandang menjadi anak laki-laki itu sangat menyenangkan. Bisa terus menggunakan celana, memanjat pohon sesukanya, dan mainan anak laki-laki itu banyak yang sangat seruuuuu! Tapi setalah itu kami bertaubat karena diperingati oleh orang tua kami, “Hush! Nggak boleh bilang gitu! Itu namanya nggak bersyukur, kalian durhaka sama Allah karena menolak takdir” dan jika diantara kami ditanya, “Kamu laki-laki apa parempuan sih?” pasti kami akan menangis, Hihihi.. ingin jadi anak laki-laki tapi kalau dikira anak laki-laki pasti kami menangis.

Cho, setelah beranjak dari fase anak-anak, aku sudah sadar seutuhnya bahwa kehidupan seorang laki-laki tidaklah semudah yang kukira dulu.. menyenangkan, tidak. Mereka diciptakan untuk menjadi manusia yang kuat dan tegas. Dunia akan menuntut mereka menjadi pribadi yang tahan akan kerasnya takdir: menjadi seorang imam.

Ada pengalaman lucu yang ku dapat dari seorang Ramond Y. Tungka. Taukah? Dia seorang pemain film di Catatan Akhir Sekolah dan Ekskul. Penampilannya kini semakin acak-acakan setelah memandu acara 100 hari keliling Indonesia untuk Kompas TV. Aku kagum terhadap orang ini. Seorang Ramon Y. Tungka adalah sosok laki-laki yang benar-benar tidak bisa dihakimi sikapnya berdasarkan penampilannya. Kalau aku boleh beri nama Cho, dia itu brandal sholeh.. hhehe. Saat, kelahiran anak pertamanya, ada doa yang jarang sekali ku dengar dari para bapak-bapak baru lainnya:
“InsyaAllah.. kalau Allah memberkahi anak saya, semoga anak saya ini benar-benar menjadi laki-laki.. Laki-laki yang sholeh, yang pintar mengaji”

Cho, aku juga mau menceritakan padamu mengenai sikap temanku yang menurutku itu sebuah sikap yang bertanggung jawab sekali sebagai laki-laki. Yang aku ketahui, temanku ini menyimpan rasa ke seorang perempuan dan benar.. perasaannya terbalas. Perempuan yang ia kagumi juga sama halnya memiliki rasa yang sama. Tapi, kawanku ini sangat rapi dalam menyimpan peresaan kagumnya dari si perempuan. Dia bisa bersikap biasa saja kepada si perempuan saat bertemu. Aku mengetahui Cho kalau mereka berdua saling memiliki rasa yang sama. Tetapi, sekarang aku punya tugas yang lebih berat untuk tidak saling memberatkan perasaan mereka. Aku harus menyembunyikan apa yang aku ketahui dari perempuan yang ia kagumi. Padahal aku juga mengetahui kalau si perempuan tadi juga menyimpan rasa yang sama. Posisi yang susah bukan? Dan ketahui lah Cho, apa penjelasannya mengenai sikapnya:

“Kalau aku ngasih tau dia omoganku (mengenai peresaanku ke dia) kan harus ada pertanggungjawabannya. Kalau dia tau terus aku harus gimana? Sementara saat ini aku masih belum bisa bertindak lebih jauh. Cuma bisa mengaguminya dalam hati. Aku nggak kenal pacaran. Aku belum pernah sms-an atau chat-chat hal nggak penting atau sekedar ngasih perhatian lebih ke dia. Kalau emang jodoh pasti ada jalan. Menurutmu gimana? Kalau kamu jadi aku gimana?”

Itu pertanyaan yang sulit Cho, “kalau kamu jadi aku gimana?” yah pasti aku jawab hal sama juga Cho.. pastinya. Hal yang paling berat saat mengagumi seseorang adalah rasa ingin terus bersama. Tapi temanku bisa membuktikanya Cho, bukti kalau mereka bertanggungjawab terhadap perasaan mereka. Saling mengagumi bukan berarti harus terus bersama. Aku hanya berdo’a semoga mereka dipertemukan diwaktu yang tepat, karena tidak ada yang pernah tahu apa rencana Allah untuk mereka.


Di luar sana Cho, pasti ada lebih banyak lagi laki-laki yang baik dan bertanggungjawab seperti temanku. Semoga lebih banyak. Orang-orang sepert itu bukan keluar dari lingkungan yang memanjakan mereka.

Dear friends..
semua butuh proses, ya dalam belajar dalam memahami hakikat dibutuhkan proses karena memang tidak mudah. Dan sekarang saya juga masih dalam proses.. ini soal kita, cewek--> tentang mangambil keputusan untuk berjilbab
saya memutuskan berjilbab tanpa ada desakan dari pihak manapun. Keputusannya memang tidak mudah, awal-awal saya malu karena yang saya tahu saya ini anak bandel, saya juga bukan anak yang rajin ngaji, hobi berantem dan teman-teman saya kala itu anak-anak yang hobi main ke studio musik dan mereka yang rajin menghempaskan kakinya di atas matras.
ketika saya kambali ke tempat latihan dengan kondisi yang berbeda, mereka juga memberikan respon yang tidak biasa. yang biasanya narik-narik rambut saya sembarangan mereka berlahan juga memahami saya. Saat ada sesi latihan yang mengharuskan menyingsingkan lengan baju mereka juga perhatian kok, "Oh.. buat kamu g usah" Lingkungan akan belajar memahami kita juga.
Tapi bukan berarti memakai jilbab berarti kamu jadi orang yang sepenuhnya baik. Enggak. Saya masih nakal, bocah nakal yang perlu banyak-banyak dinasihati. Saya juga masih bisa main dengan teman-teman lama saya kok. Bedanya sekarang saya terus belajar, jilbab jadi kontrol buat saya. Untuk terus belajar dan berhati-hati dalam bersikap. Karena saya rasa tidak adil jika saya yang berbuat buruk , tapi jilbab saya yang disalahkan. Salahkan saya, tegur saya, nasihati saya, karena bukan jilbab saya yang berbuat salah!
jilbab yang saya pakai ini cuma kain, itu benda mati. Kapan saja di mana saja bisa dengan mudah di lepas. tapi ketika menggunakannya dengan kesadaran penuh, itu bukan sekedar kain. Jika kiranya kita belum siap lalu mengatakan, "Jilbabi hati dulu" masalahnya nggak ada toko penjual jilbab hati? Jadi, ketika kita berjilbab, saat itu kita akan mulai dituntut belajar lebih. Yaa, kita mulai berproses..
buat temen-temenku yang punya niat berjilbab ayo jangan ditahan 
Jilbab bukan tuntutan sosial, tapi jilbab itu panggilan yang akan menuntut kita mengikhlaskan keindahan yang diberi Allah ke kita untuk dijaga.
Deretan nama yang banyak bukan? luar biasa!
Ini untuk partama kalinya saya memiliki kesempatan untuk memilih ketika saya berusia 21 tahun. Untuk pemilih pemula seperti saya, berkesempatan dalam memilih caleg dan capres adalah pengalaman baru. Sebuah pengalaman baru biasanya akan amat jarang sekali untuk dilewatkan. Untuk  tahun ini saya memutuskan untuk memilih, tidak golput.
Dikalangan mahasiswa dan teman-teman saya sedang marak sekali mengenai golput. Ada yang bilang bahwa golput berarti beputus asa. Ada yang menganggap golput adalah salah satu dari bentuk perjuangan yang lain dalam melawan kelaliman pemerintahan. Tetapi ada pula yang tidak peham mengapa dirinya memilih golput. Sisanya beralasan bahwa calonnya terlalu banyak dan mereka tidak mengenal siapa yang harus mereka pilih. Yah pada intinya bingung mau pilih siap, ada baiknya bila golpot.
Sebenarnya untuk prinsip golput ataupun memilih, bukanlah suatu hal yang harus dibenturkan. Karena dalam perundang-undangan sudah jelas bahwa memilih adalah hak, yang artinya bukan kewajiban untuk tidak boleh meninggalkan pemilihan. Dalam UU tentang pemilu no.10/2008. Pasal 19  ayat 1 dijelaskan sebagai berikut: WNI yang pada akhir pemungutan suara telah berumur 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih. Sehingga jika tidak memilih bukanlah suatu pelanggaran. Tapi amat disayangkan jika ditinggalkan. Mungkin kita bisa sedikit berimajnasi apabila pemilihan ini hanya khusus untuk mereka yang memiliki kepentingan politik saja. Apakah mungkin kita akan menuntut agar hak memilih bisa kembali berlaku untuk semua warganegara?
Pasti membutuhkan anggaran yang tidak murah untuk menyiapkan kertas-kertas surat suara yang lebarnya seukuran poster.

Akhrnya saya mengerti mengapa popularitas tidak terkepas dari kemenangan pemilu. Akhirnya saya juga memahami mengapa orang memilih untuk golput. Untuk pertama kalinya saya menerima 4 lembar surat suara, dalam lembaran surat suara tersebuat tercantum nama yang begitu banyak berderet seakan meronta-ronta meminta untuk dicoblos. Tentu saja tidak semua dari nama-nama calon legislatif tersebut saya kenali satu persatu. Nama caleg yang seakan-akan terang-benerang diantara puluhan nama adalah mereka yang namanya berkibar-kibar di spanduk. Oh, harus saya apakan nama itu? Padahal tidak persis saya mengenal dan mengetahui kapabilitas orang tersebut. Jika saya adalah anak baik, pasti sudah saya coblos semua deretan nama tersebut. Tapi cobolsan yang membabi buta akan memicu perhatian orang ke bilik pemilihan saya pastinya.
Jauh-jauh hari saya sudah berusaha mengenal orang-orang yang mencalonkan diri melalui wesite KPU. Namun hasilnya tidak seperti yang saya duga. Hanya daftar nama dan foto yang tertera. Saya mengira akan ada profil lengkap mengenai sang calon legislatif. Mencoba mengenal tanpa adanya unsur subjektiftas dari partai, tapi sayang tidak saya dapatkan. Hingga berhadapan dengan surat suara, saya benar-benar tidak megetahui kapabilitas mereka.
Popularitas amat menentukan. Ini saya simpulkan ketika seorang  ibu-ibu berkata kepada saya, “Tadi aku nyari nama pak (sensor) kok nggak nemu ya? Itu loh pak (sensor) dari partai (sensor) yang kemarin udah bagi-bagi sembako. Aku mau terimakasih e..” namun bagaimanapun itu baru sampel kecil saja. Tidak bisa disimpulkan secara mutlak.
Untuk menemukan pemimpin di negara dengan jumlah penduduk yang banyak bukanlah hal yang mudah. Mungkin mencoblos adalah sistem yang dianggap paling ideal untuk menemukan perwakilan orang dari jutaan penduduk yang tersebar di Indonesia. Semua orang bisa saja mengajukan diri untuk mencalonkan diri. Masalah yang timbul adalah, apakah orang yang mencalonkan tersebut benar-banar dapat mewakli rakyat? Bagaimana bisa mereka bisa mengatakan mewakli rakyat bila mereka yang mencalonkan saja tidak mengenal siapa yang mereka wakili? Dan tiba-tiba saja mereka muncul memperkenalkan diri dan meminta untuk dipilih. Untuk para pemilih seperti saya akan sangat wajar jika dalam benak terlintas pertanyaan, “Siapa anda? Apakah saya tahu bagiamana anda bekerja?”
Tumpukan kertas suara yang siap coblos

Ah, beginilah demokrasi. Suara terbanyak dianggap mewakili suara rakyat. Untuk para pemilih, jangan sedih jika pilihannya tidak terpilih. Untuk yang memutuskan golput, siapa saja yang terpilih tidak akan menjadi masalah. Toh jika mereka yang terpilih melakukan korupsi, itu bukan pilihan para golput kan?

Bahkan pada tahun 2009, golput justru yang menang. Dalam situs resmi KPU suara golput mencapai angka 39,1% semantara partai pemenang hanya mendapatkan angka 20,85%. Golput adalah suatu kewajaran. Jika memilih tanpa tanggung jawab dengan mencoblos orang yang tidak memiliki kapabilitas, maka apa bedanya dengan memilih orang-orang yang kelak akan berbuat kersakan? Ada baiknya kita memilih dengan kesadaran penuh siapa yang kita pilih. Jika dianggap tidak ada yang dapat mewakili, golput lebih baik. Karena memilih adalah pilihan, tapi memilih sembarang orang bukanlah pilihan.

tulisan ini banyak terinspirasi dari buletin bulaksumur pos edisi pemilu :D
Surat dari temen-temen SMP yang masih ku simpan

                Beberapa hari lalu sebelum akhirnya aku menulis ini Cho.. aku berhura-hura dengan kebulan debu kamarku. Tumpukan buku, barang yang sudah mengantri untuk dibuang dan tumpukann baju yang baru kering dijemur membawa keberuntungan hari itu. Bukan karena aku menemukan selembar uang di kantung baju.. tapi si kotak pandora yang berisi ingatan dan rasa dimasa lalu.
                Halah.. berlebihan aku bilang kotak pandora, Haha. Tau saja Cho, yang ku maksud kotak pandora itu adalah sebuah laci yang berisi tumpukan-tumpukan surat yang ku terima dari teman-temanku dulu. Ya, aku menemukan teman-temanku di laci. Mereka kutemukan dengan membawa kenangan dan rasa di masa lalu yang masih dapat tersimpan dengan baik. Bukan hanya tersimpan dalam ingatan, tapi semua rasa itu tertuang dalam surat-surat yang kuterima dari mereka. Sampai sekarang aku masih menyimpannya dengan baik Choco.. Yap! Mualilah reuni imajiner.
                Hehehe Cho.. bukan masalah isi surat yang akan kuceritakan padamu. Tapi aku mau menceritakan mengenai rasa yang kembali itu. Jaman sekaran Cho, tidak perlu susah-susah mengirimkan pesan ke teman-teman atau saudara kita yang jaraknya tidak cukup ditempuh dalam sehari-dua hari. Ketik Sms, langsung sampai. Kirim email, langsung sampai. Telfon juga bisa, justru alat komunikasi sekarang bisa dibawa kemana-mena dan tidak seribet dahulu kita harus mengirim pesan lewat telegram. Perasaan yang ingin disampaikan ke teman dan saudara mungkin masih akan tertunda sedikit sebelum akhirnya pesan sampai. Yang sekarang terjadi, semua orang bisa saja sebentar-sebentar mengungkapkan rasanya lewat sms. Sedang kesal, sms saja.. langsung tersampaikan. Sedang senang, sms saja... teman kita langsung tau. Sedang bingung, sms saja.. teman kita akan segera memberi jawaban. Begitu mudahnya kita mengungkap rasa. Sampai-sampai, begitu mudahnya pula kita menghapus rasa itu.


Jaman SMA, nama pengirim surat masih diperbolehkan alay. Tapi itu yang ngangenin
                Iya kan Cho? Pesan yang kita terima lewat sms dan email, apa lagi lewat telfon mudah sekali langsung hilang. Jika kapasitas memori di handphone sudah penuh, pasti ada yang harus segera dihapus. Pesan email, bisa saja disimpan kemudian di print. Tapi amat jarang sekali orang melakukan hal tersebut. Hahaha, Cho.. aku sedang memanggil rasa senang itu ketika menulis dan menerima surat. Memang sudah bukan jamannya lagi sekarang kirim surat. Mengingat sudah ada teknologi yang memudahkan dalam pertukaran informasi. Tapi Cho.. ada yang tak bisa tergantikan oleh teknologi secanggih apapun itu, yaitu rasa senang ketika kita menerima surat dari teman dan saudara kita. Rasa senang ketika kita membuka kembali pesan yang diterima beberapa tahun sebelumnya.
Kartu pos yang ku kirim untuk teman-temanku yang jaraknya ribuan tahun cahaya. Dapet kiriman balik kah?

                Surat-surat yang kutemukan banyak datang dari teman-teman SMP, SMA, teman rumah dan saudara-saudarku. Teman kampus? Aduh boro-boro, kami terlalu sibuk terjebak dalam rutinitas sehari-hari. Sms sepertinya sudah cukup karena kami terlalu sibuk. Cho, aku ingin menginvestasikan rasa itu di masa depan kelak. Jadi aku coba meminta alamat mereka untuk aku dapat mengirimkan surat suatu saat nanti. Tapi ah.. kartu pos yang rencannya ingin kukirimkan ke teman-temanku akhirnya ku kirimkan sendiri melalui tanganku. Aku kirimkan dari Jakarta, tapi ternyata kartu pos baru ketahuan sampai di Jogja ketika aku pulang. Hahaha.. semoga teman-temanku berkenan manyimpannya. Akankah mereka juga mamanggil rasa itu suatu saat nanti di masa depan? Entahlah, kalau tidak berarti investasiku gagal. Ya, gagal menananmkan rasa itu..
                Ehm, bicara soal rasa Cho.. teman-teman SMP dan SMA ku sangat berhasil menginvestasikan rasa itu padaku. Ketika aku mambuka satu persatu tumpukan surat dari meraka, betapa lupa.. aku lupa bahwa dulu aku pernah bersenang-senang. Dari tulisan mereka aku ingat bahwa dulu aku pernah membuat lima orang teman-teman ku patah hati padaku. Hahaha.. aku baru ingat bahwa saat SMP aku merupakan anak yang sangat terbuka kepada siapapun. Dari tulisan mereka juga aku ingat, pernah membuat orang mengucilkanku dan akhirnya mereka sendiri yang meminta maaf.. Rasa-rasa itu muncul kembali Cho.. meski mereka sudah memiliki kehidupan dan kesibukan yang berbeda, mereka masih hadir dalam ingatan yang tersimpan dalam lembaran-lembaran kertas.

                Oh, friends.. I wish you were here.

                Aku juga berharap selalu memiliki ingatan yang baik dengan teman-temanku yang skarang. Bolehkan aku memanggil rasa senang ini suatu saat nanti?