Kita bisa menemukan banyak orang-orang hangat di ketinggian yang dingin
|
Pernah lihat gumpalan awan besar sedekat ini Cho? |
Choco.. masih ingat dengan
tulisan pertama yang kuceritakan padamu? Tulisan anak alay yang baru mengenal
bahasa. Setelah 4 tahun aku membacanya kembali, geli rasanya. Ingin menertawai
diri sendiri Hahaha. Tulisan itu Cho, mengenai tempat-tempat indah di pertiwi
yang mau ku kunjungi. Setelah 4 tahun aku menuliskannya, tulisan itu hampir
mencapai tujuannya, walaupaun tidak terpenuhi sepenuhnya atau bahkan telah
melampaui apa yang ku inginkan ketika itu (lihat:Tempat di Pulau Jawa yang Ingin Saya Kunjungi). Aku mau menceritakan padamu mengenai
pertemuan yang telah melampaui apa yang kubayangkan. Di sini Allah menunjukan
kepada ku KuasaNya, Allah mengizinkan MemandangNya dari ketinggian. Kuharap ini
baru permulaan untuk perjalanan selanjutnya!
Aku ini satu-satunya anak
perempuan di rumah. Orang tua terutama bapak paling susah membiarkan anaknya
jauh dari jangkauannya. Ketika aku masih kecil, bermain dengan kawan-kawan di
luar rumah akan mejadi hal yang paling menakutkan. Karena aku ini anak yang
culun, sering sekali menjadi target bullying,
terutama ketika aku tinggal di Bogor dan awal-awal pindah ke Jogja. Lama kelamaan proses tersebut membuat
anak sekecil itu tumbuh dengan hati yang keci pula. Tidak suka bermain dengan
sesamanya, tidak pernah bermain keluar rumah dengan teman sebaya dan akhirnya
membuat dunia sendiri.
Cho, seperti halnya kamu. Kamu adalah
anak kecil laki-laki yang kuciptakan untuku bisa bercerita kesana-kemari. Saat kecil
hingga sekarang, aku memiliki banyak teman imajiner yang biasa menghampiriku
saat aku sendirian. Jika aku di ruangan, biasanya akan ada yang menghampiriku
untuk mengajak bercerita, tepatnya aku yang bercerita Cho.. menceritakan apapun
yang tak tersampaikan. Tapi beberapa kali aku terpergok teman bahwasanya aku
sedang berbicara sendiri! Karena telah beberapa kali aku dipergoki, akhirnya
aku sadar diri Cho, bahwasanya aku sedang sakit. Aku menciptakan teman-temanku,
agar mereka menghampiriku dan mau mendengarkan apa yang ingin kuceritakan
kepada mereka. Hal tersebut mulai
mengganggu tentunya. Akhirnya tanpa ada paksaan dari manapun, aku mengikuti
konseling ke psikolog. Konselor itu bernama mbak Diah. Dengan sabar dia
mendengarkan ceritaku, beliau bilang,”Bisa saja ini gejala scizophrenia”
Satu-satunya tawaran untuk ku
agar bisa sembuh adalah dengan menjadi orang yang terbuka. Memiliki sebanyak-banyaknya
teman dan tidak sungkan untuk bercerita. Mengutarakan apa yang diinginkan baik
secara lisan maupu tulisan. Menghindari kesendirian yang bisa memicu
teman-teman yang kuciptakan datang lagi.
Cho, iya memiliki banyak teman
itu hal yang sangat menyenangkan. Dengan memiliki teman kita akan dengan mudah
membagi rasa yang membebani. Bukan untuk memindahkan beban itu kepada yang
lain, melainkan kita akan saling berbagi rasa ringan, “bahwasanya kamu tidak sendiri,
rasa khawatir berlebihan itu yang membuat kita merasa berat”. Terkadang,
menghampiri teman dan bercerita bukan semata-mata untuk mencari solusi. Melainkan
kita sedang mencari orang yang bersedia mendengarkan dan akan menjadi pihak
yang membersamai kita dalam menghadapi masalah. Dan iya, aku menemukannya. Seperti
menyusun mozaik Cho.. aku menemukan mereka satu persatu.
Sekarang, aku ingin berterimakasih
satu persatu untuk teman-temanku yang
secara tidak sadar sudah membantuku dalam masa penyembuhan Cho..
Partner in Crime
Untuk kalian, Anis Listyarini dan Yudithia Damayanti. Aku mau berterimakasih
sebanyak-banyaknya terhadap kalian. Bagaimana awalnya aku bisa masuk dalam
lingkaran kalian, aku lupa. Yang ku tahu kalian berdua saling mengisi menjadi partner in crime. Aku menjadi salah satu
dari kalian tanpa persyaratan rekuritmen ala mafia. Terimakasih terus
membersamaiku. Hingga akhirnya kebersamaan itu harus sejenak berjarak sekarang.
Ya, keterbukaan dan kebersediaan kita diuji pada level yang paling tinggi. Berpisah bukan menjadi jalan yang paling
buruk. Ini adalah masa rehat yang diberikan Allah untuk kita saling memahami
satu sama lain dari jauh dengan rasa hormat lebih. Seolah-olah menjadi orang
yang baru dikenal, padahal sesungguhnya ada do’a dalam diam yang kalian
terbangkan ke langit-langit. Nis.. Dith, jujur aku merindukan masa-masa
kebersamaan itu, tapi aku tahu bahwasanya kita sedang berendam dalam rasa
kecanggungan. Dari kalian aku belajar mendengarkan. Dari kalian aku belajar memahami
apa yang diceritakan, dari kalian aku belajar untuk menerima kekurangan teman, dari
kalian aku belajar bertahan dalam kekurangan kawan. Untuk tidak meniggalkan,
untuk tetap menjaga komunikasi. Dari kalian pula aku bisa berani bererita. Apa
kabar kalian? Aku agak geli ketika Anis bilang,
“Aku sama Yudith udah kayak orang yang habis putus, diem-dieman
malu-malu gitu” Hahahaha, mana ada kamu pernah pacaran, ini cobaannya melebihi
orang pacaran Nis.. pacar bisa aja jadi mantan, tapi pertemanan tidak pernah
diawali dari kata sepakat “kita berteman” , tidak ada pernyataan khusus. Jiwa-jiwa
kita sudah pernah bertemu sebelumnya sehingga kita tidak pernah menyepakati
pertemanan ini di kehidupan nyata. Merindu
kalian.. partner in crime.
|
Partner in Crime!
|
Bareng Abang Yudith, Lawu 3265 mdpl
|
Senior partner, Anis.. Ayo foto bertiga |
|
|
Pencarian Titik Balik
Terimaksih untuk teman-teman
sejalan yang sabar menghadapi keusilanku
di taraf orang-orang kalem seperti kalian. Teman-teman ph JMMB 1434,
terutama mbak Umi Mu’avatun, Annis Fatmawai, Dewi Rakhmawati, Cahyo Adi Wibowo,
Ali Muharom, Ibnu Sina, M.Muslih Muhtadi. Aku tahu kita semua (kecuali Muslih
dan Dewi) adalah mantan orang-orang badung, walaupum sampai sekarang masih ada
beberapa dari kita yang masih badung hahahahaha. Terimakasih untuk kesabarannya
dalam membersamaiku, bersabar, membrikan pemahaman yang baik bahwasanya semua
orang akan menemukan titik baliknya. Kalian orang-orang yang memberikanku rasa
aman dalam belajar sehingga aku tidak perlu merasa ketakuatan dalam memahami
isyarat Tuhan. Terimakasih, kalian orang-orang yang berbeda yang ku kenal dari
orang-orang yang biasanya ku kenal. Terimakasih dalam membantuku menemukan
titik balik itu. Hanya dengan kalian aku bisa keras melawan dan cerewet memecah
kekakuan.
|
Kaki gunung Merapi. Bersama Kalian orang-orang sibuk (kiri ke kanan): Mbak Umi, Luthfi, Irma, Ali, Cahyo |
Cuma Kamu yang Bisa Mbak..
Untuk Murobbi ku, Mbak Miftakh
Dinianingrum.. kamu satu-satunya Murobbi yang masih mau kuhubungi di saat-saat
kamu masih sibuk mengerjakan tugas akhir. Ya, karena kamu yang paling membekas.
Sampai berkali-kali aku terus bertanya, “kapan wisuda? Apa kabar?” Cuma ke kamu mbak aku jorjoran mengenai ketidaknyamananku
tentang dunia kampus yang kaku, cuma ke
kamu mbak aku cerita tentang orang yang pernah membuatku nanar karena perangainya, Cuma ke kamu juga aku
bisa banyak bertanya. Dari yang biasanya aku hanya mengatakan iya dan
menundukan kepala saat melingkar. Terimakasih kamu menjadi salah satu orang yang
ikut dalam proses penyembuhanku mbak.. karena dengan kamu aku bisa menjadi
orang yang lebih terbuka.
Konflik ala Anak Kost
Dan Cho.. ini pertemanan yang
terbentuk karena terjebak waktu dan tempat. Selama kurang dari 2 bulan, semua
kebusukan sehari-hariku dan mereka saling terbuka satu persatu! Kalian,
teman-teman satu pemondokan dalam masa pengabdian ke masyarakat selama di
perbatasan Indonesia-Malaysia. Terimakasih.. kalian orang pertama yang
menemaniku di perantauan jauh, bertemu orang-orang asing dan memaksa
berkeluarga dengan orang-orang yang awalnya asing seperti kalian. Untuk
Rachmita Dewi, Sinthiya, S.N. Salita N., mbak Umiyati, Restu Puji A., mbak
P.Whulandari.. Bisa seharian kita dikamar bercerita kesana-kemari ketika
seharian tidak ada pekerjaan. Rewel membahas masakan dan kadang bisa sedikit
berkoflik batin masalah cara masak dan menu masakan. Terimakasih kalian mengenalkan ku pada
konflik-konflik kecil keseharian ala anak kost. Dari kalian aku belajar untuk
menahan diri dan mengatakan pada diri, “itu hanya perasaanmu saja yang
membuatmu berat, tidak ada masalah besar” terus aku mengatakan hal seperti itu
hingga akhirnya pada suatu pagi aku melarikan diri dari pemondokan. Karena Cho..
disaat seperti itu tidak ada tempat untuku bercerita. Keadaan itu memaksaku tak
mamapu memanggil teman-teman imajinerku untuk mendengarkan kata hati yang tak
tersampaikan kepada telinga-telinga manusia. Aku hanya terus berbisik, “itu
hanya perasaanmu saja yang membuatmu berat, tidak ada masalah besar” dan Cho.. semua perasaan dan permasalahan itu
kubawa keluar pemondokan, aku bisa
mengatakan pada mereka jika aku baik-baik saja.
Mountaineer dan laki-laki Flamboyan
Untuk para Mountaineer Teknik, terimakasih banyak sudah bersedia mengenalkan ketinggian, hanya kalian yang
berani membayar janji bepergian tanpa wacana. Dari Pahu Dieng, Merbabu sampai
Lawu. Muhamad Hafiyyan Mayada, Prayoga Isyan para Mountaineer dari pemondokan dan kalian juga para laki-laki flamboyan
Ahmad Ridwan juga Heru Pranoto. Terimakasih, dari situ banyak pelajaran yang
kalian kenalkan dalam melawan diri sendiri. Melawan ketakutan dan rasa lelah,
memaksa diri untuk keluar dari zona
nyaman. Terimakasih.. dari sini aku bisa bertemu banyak orang dan memandang
dunia. Dari ketinggian ini, bukan kita yang dipandang oleh dunia. Tapi kalian
mengajakku untuk melihat dunia. Betapa kecilnya manusia, betapa tidak ada
bandingannya jika kita disejajarkan dengan KuasaNya. Ya Allah.. aku bisa
memandangMu dari ketinggian. Bahwasanya permasalahan yang aku rasakan tiada
besar dihadapan banyak orang. Orang-orang diatas gunung begitu bersahabat,
disana aku banyak bertemu dengan orang. Di sana aku menemukan orang-orang
dengan keadaan yang sama, saling membutuhkan satu sama lain untuk dapat
mencapai tujuannya, ya.. untuk selamat sampai pulang saat mendaki dan turun. Kedaan
itu mambuat para pendaki menjadikan orang-orang yang ditemui sebagai saudara. Tidak
pernah aku menemukan tempat sehangat itu Cho.. sangat berterimakasih kepada
kalian yang memberiku kesempatan untuk merasakan pengalaman ini. Sehingga aku bisa melihat permasalahanku dari
ketinggian. Betapa kecilnya aku! Betapa kecilnya permasalahan yang sesungguhnya
aku rasakan, tidak ada kesepian yang kurasakan di puncak sana.
|
Lawu, bersama mereka yang masih bersedia melanjutkan pertemanan setelah kurang dari 2 bulan hidup di perbatasan. (kiri-kanan): Dewi, Yoga, Siska, Hafiyyan, aku
|
Bareng temen-temen Teknik Sipil, puncak Kenteng Songo-Merbabu: Helmi, Hafiyyan (lagi) |
|
Puncak Prahu, Dataran tinggi Dieng |
|
Cho.. perjalanan ini telah
melampaui dari apa yang kutuliskan 4 tahun yang lalu. Perjalanan ke suatu
tempat akan mempertemukan kita kepada orang baru. Aku mulai belajar untuk
selalu bersabar dan bersyukur. Bahwasanya manusia tidak pernah sendirian, tidak
perlu memanggil teman imajiner dan bercerita kepada mereka. Jika aku perlu
didengarkan, sekarang aku hanya perlu mengadu kepada Allah dan sedikit berusaha
untuk berjalan menemui orang yang kusayangi.. itu lah meraka, teman. Ada nikmat
Allah yang harus kujemput, rasa nikmat itu adalah mereka yang kusebut teman. Now I see you guys!
|